Selasa, 11 Oktober 2016

Review Jurnal Etika Profesi


Judul :
Pengaruh Independensi, Profesionalisme, Tingkat Pendidikan, Etika Profesi, Pengalaman, dan Kepuasan Kerja Auditor terhadap Kualitas Audit Pada Kantor Akuntan Publik di Bali

Penelitian : Putu Septiani Futri dan Gede Juliarsa

Tahun : 2014

Tujuan :
Untuk mengetahui pengaruh independensi, profesionalisme, tingkat pendidikan, etika profesi, pengalaman, dan kepuasan kerja auditor terhadap kualitas audit di Kantor Akuntan Publik di Bali.

Variabel yang digunakan :
Independensi, profesionalisme, tingkat pendidikan, etika profesi, pengalaman, dan kepuasan kerja auditor, dan kualitas audit.

Metode/Jenis Penelitian :
Penelitian ini dilakukan pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Propinsi Bali yang merupakan anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Sampel diambil dari 9 KAP yang terdapat di Bali. Definisi operasional dibentuk dengan cara mencari indikator empiris konsep. Seluruh variabel dalam penelitian ini diukur dengan skala Likert dengan 4 point. Dimana semakin mengarah ke point 1 maupun point 4 dapat ditentukan bahwa variabel tersebut berpengaruh atau tidak dalam menentukan kualitas audit.

Hasil Penelitian :
Seluruh butir pertanyaan untuk mencari informasi mengenai seluruh variabel dinyatakan Valid. Hal ini terlihat dari nilai rhitung > rtabel. Indikator lainnya yang dapat memberikan informasi adalah nilai probabilitas korelasi yaitu 0,000 artinya nilai tersebut < 0,05. Seluruh instrumen atau butir pertanyaan dalam variabel reliabel. Hal ini terlihat dari seluruh croanbach’s alpha dari masing-masing variabel nilainya melebihi kriteria yang dipersyaratkan yaitu 0,60. Model pengujian juga telah terbebas dari masalah normalitas data,multikoliniearitas, dan heteroskedastisitas

Setelah dilakukan pengujian didapatkan hasil bahwa independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit di Kantor Akuntan Publik di Bali yang terlihat dari tingkat signifikansi (0,079) > α (0,05). Profesionalisme tidak berpengaruh terhadap kualitas audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali terlihat dari tingkat signifikansi (0,057) > α (0,05). Tingkat pendidikan terbukti berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali terlihat dari tingkat signifikansi (0,005) < α (0,05). Pengalaman tidak berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali terlihat dari tingkat signifikansi (0,066) > α (0,05). Setelah dilakukan pengujian didapatkan pula hasil bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali terlihat dari tingkat signifikansi (0,033) < α (0,05).

Kesimpulan:
Berdasarkan pembahasan di atas, maka simpulan penelitian adalah:
  1. Independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit
  2.  Profesionalisme tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. 
  3. Tingkat pendidikan profesionalisme berpengaruh positif terhadap kualitas audit. 
  4. Etika profesi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. 
  5. Pengalaman berpengaruh tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. 
  6. Kepuasan kerja auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit.

Tanggapan :
Menurut saya, penurunan atau kurangnya independensi auditor adalah sebuah ancaman, dimana akan menyebabkan banyak perusahaan runtuh dan skandal korporasi di seluruh dunia. Tanpa independensi kualitas audit dan tugas deteksi audit akan dipertanyakan. Profesionalisme juga perlu ditingkatkan, karena sangat penting dalam melakukan pemeriksaan. Harapan masyarakat terhadap tuntutan transparasi dan akuntabilitas akan terpenuhi jika auditor dapat menjalankan profesionalisme dengan baik sehingga masyarakat dapat menilai kualitas audit. Dengan menjunjung tinggi etika profesi diharapkan tidak terjadi kecurangan diantara para auditor, sehingga dapat memberikan pendapat auditan yang benar-benar sesuai dengan laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Jadi, dalam menjalankan pekerjaannya, seorang auditor dituntut untuk mematuhi Etika Profesi yang telah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan diantara para akuntan yang menjurus pada sikap curang. Dengan diterapkannya etika profesi diharapkan seorang auditor dapat memberikan pendapat yang sesuai dengan laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Jadi, semakin tinggi Etika Profesi dijunjung oleh auditor, maka kualitas audit juga akan semakin bagus.

Sabtu, 01 Oktober 2016

ETIKA PROFESI

Nama   : Vinnike Hemawanty
Kelas   : 4EB18
NPM   : 29213869

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai etika profesi akuntansi. Sebelum membahas lebih jauh mengenai etika profesi akuntansi, ada baiknya kita memahami arti dari etika terlebih dahulu.

Etika berasal dari Bahasa Yunani “Ethos” yang berarti kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sedangkan kata Profesi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Maka etika profesi dapat diartikan sebagai sikap profesional seseorang yang memiliki keahlian tertentu dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Etika memiliki peranan yang penting bagi kehidupan bermasyarakat karena etika memiliki beberapa fungsi. Sebagai norma, etika dapat mewakili cara-cara mengenai sesuatu yang pantas dilakukan dan dilakukan dengan wajar. Sebagai aspirasi, etika mewakili bagaimana orang didalam kelompok atau masyarakat bertingkah laku untuk menjadi bagian dari hubungan antar manusia. Sebagai preskripsi, etika bersifat memaksa, dimana penyimpangan dan pengabaian etika tidak hanya dicela tetapi juga ditindak.

Perlu diketahui pula bahwa etika terbagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum berisi prinsip moral dasar dan bagaimana seorang manusia dapat mengambil keputusan secara masuk akal. Sedangkan etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Dimana individual berarti berisi tanggungjawab serta kewajiban terhadap diri sendiri, dan sosial berarti memiliki tanggungjawab dan kewajiban terhadap ligkungan sekitar.

Umumnya masyarakat menganggap etika memiliki arti yang sama dengan etiket. Namun kenyataannya, etika dan etiket memiliki perbedaan.
Perbedaan pertama, etika selalu berlaku baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Contohnya, larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Sedangkan etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Contohnya, ketika sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki di atas meja makan, maka akan dianggap melanggar etiket. Tetapi jika dilakukan ketika sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka tidak melanggar etiket.
Perbedaan kedua, etika bersifat absolut. Contohnya,  “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar. Sedangkan etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya, mengambil makanan dengan tangan kiri.
Perbedaan ketiga, etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Contohnya, dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin artinya mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sedangkan etiket menyangkut tata cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Contohnya, ketika mengambil makanan dari orang lain, maka  harus mengambilnya dengan menggunakan tangan kanan. Jika menggunakan tangan kiri, maka dianggap melanggar etiket.

Walaupun telah diatur sedemikian rupa, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran etika. Faktor yang mempengaruhinya pun beragam. Ada yang dipengaruhi oleh kebutuhan individu, tidak adanya pedoman sehingga ia tidak mengetahui aturan yang berlaku disekitarnya, faktor kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, lingkungan yang kurang mendukung, ataupun mengikuti gaya orang-orang yang melanggar etika.

Untuk memperkecil dan menekan kasus pelanggaran etika tersebut, maka banyak bermunculan sanksi-sanksi yang dapat diterapkan. Sanksi ini dapat berupa yaitu sanksi sosial maupun sanksi hukum. Pertama, adalah sanksi sosial, sanksi ini biasa diberikan oleh masyarakat tanpa melibatkan pihak berwenang seperti sanksi ganti rugi dan pengucilan dari masyarakat sekitar. Kedua, sanksi hukum, sanksi ini diberikan oleh pihak berwenang, dalam hal ini pihak kepolisian dan hakim. Pelanggaran yang dilakukan tergolong pelanggaran berat seperti kasus korupsi dan harus diganjar dengan hukuman pidana ataupun perdata.

Setelah mempelajari dasar dari etika profesi, maka untuk memperjelas akan saya uraikan kasus mengenai pelangaran etika profesi.
Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara Inter North (Penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Bisnis Enron bergerak dalam bidang industri energi, kemudian melakukan diversi fikakasi usaha antara lain, meliputi future transaction, tranding comodity non energi dan kegiatan bisnis keuangan.
Kasus Enron dan KAP Arthur Andersen terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu, terungkap terdapat utang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen memperahankan Enron sebagai klien perusahaan dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron. Dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, prusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $393 juta, padahal pda periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebsar $644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntansi Indonesia yang dilanggar oleh Enron dan KAP Arthur Andersen adalah prinsip integritas, prinsip perilaku profesional, dan prinsip standar teknis. KAP Andersen dianggap melanggar prinsip integritas dikarenakan tidak dapat memelihara dan meningkatkan kepentingan publik sebagai KAP yang termasuk kategori The Big Five seperti yang terungkap pada kasus Enron bahwa KAP Andersen telah memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumenatas kebangkrutan Enron. KAP Andersen dikatakan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan reputassi profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukanpenyamaran data, karena kerugian perusahaan sebesar $644juta yang disebabkan hutang perusahaan yang tidak dilaporkan. KAP Andersen juga melanggar prinsip standar teknis karena tidak melaksanakan profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.

Referensi: