Saya jadi kepikiran. . .
Benar-benar kepikiran.
Dulu Rasul, sahabat, dan pedagang-pedangan Arab lainnya kok bisa bergelimangan harta ya?
Harta mereka bukan lagi ratusan juta. Tapi miliaran, beberapa sahabat, contohnya Umar Bin Khattab dan Abdurahman Bin Auf bahkan tembus Triliunan.
Umar mewariskan 11 Triliun ketika beliau wafat.
Dikisahkan Abdurahman Bin Auf hartanya melebihi seluruh sahabat.
Ini Harta lho, bukan Omzet.
Padahal yang dijual juga nggak macam-macam.
Ada yang jual kain, ada yang jual madu, ada yang jual hewan ternak, ada yang jual hasil kebun.
Menariknya, mereka dulu nggak pakai ilmu Copywriting, Hipnowriting, covert Selling, dan ing ing lainnya.
Kok bisa begitu?
Ya, mungkin mereka nggak pakai ilmu itu karena mereka nggak jualan Online, hehe.
Tapi serius. . . .
Pencapaian bisnis Rasul dan Para Sahabat itu bukan pencapaian yang biasa.
Makin luar biasa lagi ketika mereka juga mencetak pencapaian Akhirat.
Di dunia lapang, di akhirat menang.
Siapa sih yang nggak ingin seperti itu?
Justru aneh kalau ada yang nggak pengin itu semua.
Apapun terjadi semua karena ijin Allah.
Lama saya merenungi, apakah strateginya, apakah amalnya, apakah managemen bisnisnya, apakah apakah. . . .
Tapi karena keterbatasan ilmu, saya sampai di satu kesimpulan.
Akan banyak teori yang menjelaskan hal-hal di atas, dan mungkin Setiap orang berbeda-beda penafsirannya.
Tapi memang, ada yang dimiliki Rasul dan para sahabat yang tidak dimiliki banyak penjual.
Apakah itu?
Itu adalah "Akhlak"
Saat berbisnis, Rasul akhlaknya terpuji, sahabat pun begitu.
Bisnis bukan hanya tentang strategi.
Bisnis bukan hanya tentang jual beli.
Bisnis juga butuh akhlak.
Siapa sih pembeli yang tidak suka, jika sikap penjualnya terpuji?
Sebaliknya, tidak ada pembeli yang suka jika sikap penjual seenaknya.
Saya pernah beli buku bisnis ke seseorang penjual. Saat bertanya harga, si penjual jawabannya ketus tanpa emot-emotan, hehehehe.
Ups, seandainya saja dia lebih ramah, mungkin saya akan pesan beberapa buku :)
Mungkin dia belum tau teknik cross selling.
Saya positif saja, semoga sikap seperti itu hanya ditujukan ke Saya.
Ternyata, ada seorang teman yang juga beli ke penjual itu. Perlakuannya juga sama.
Teman Saya sampai menyimpulkan si penjual itu sombong.
Saya sih nggak peduli apa kesimpulan teman Saya.
Tapi sejak saat itu kami tidak pernah lagi beli ke penjual tersebut. Lihat kan?
Dia kehilangan 2 pelanggan. Hehehehe.
Kita jualan, yang butuh pembeli itu adalah kita.
Jadi janganlah jadi penjual yang ketus, sombong, angkuh, pamer. Allah nggak suka.
Beli nggak beli, ramah ke semua orang itu harus menjadi sikap kita.
Sekarang masyaAllah.
Ada orang berjualan, yang broadcast sembarangan, ada juga yang nyulik-nyulik grup semaunya, dan hal-hal keji lainnya.
Promosi via Broadcast boleh, tapi ada aturannya.
Mau masukin orang ke grup boleh, via UNDANGAN, bukan langsung dijebloskan.
Ngetag ke dagangan kita juga harus ijin orangnya dulu, jangan sampai dia jadi terganggu.
Sekali lagi, bisnis perlu akhlak.
Jika jalankan bisnis kecil saja nggak pakai akhlak, nggak pantas jalankan bisnis yang lebih besar.
Emak-emak Ini juga penyakit :
Janganlah engkau katakan pembeli itu PHP, bisa jadi cara jualan kita yang masih salah.
Janganlah engkau caci orang yang telat transfer, bisa jadi mereka ada keperluan.
Janganlah engkau hina-hina calon pembeli mu di status-status postinganmu.
Buat apa saudaraku?
Belum tentu mereka baca :)
Sudahlah, bagaimana cara mereka memperlakukanmu itu urusan mereka dengan Allah.
Tapi kamu juga punya urusan dengan Allah. Kamu akan dimintai pertanggung-jawaban tentang bagaimana kamu memperlakukan pembelimu.
Boleh punya ribuan strategi untuk jualan. Tapi pastikan terselip akhlak yang mulia disana.
Omzet hanya angka.
Ada yang lebih bernilai dari itu.
Yakni pahala.
Kita lebih butuh pahala dibanding jualan kita laris. Dan lebih enak jika jualan kita laris juga berbuah pahala.
Maka,
Jadilah penjual yang punya akhlak.
Ini juga jadi pengingat diri sendiri
Copas
Dewa Eka Prayoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar